SEGUDANG MASALAH DI JAKARTA
Banyak sekali permasalahan yang dihadapi kota kelahiran saya Jakarta yang juga menjadi Ibukota Republik Indonesia dari dulu sampai sekarang ini. Apapun solusi yang dipakai dan dicari oleh pemerintah daerah selalu tidak bisa membantu menyelesaikan masalah yang selalu muncul, bahkan jalan keluar yang ada tidak dapat membantu atau membuat masalah tambah rumit. Dari masalah soal urbanisasi, sosial, ekonomi, transportasi, pengemis dan yang lainnya. Pertambahan usia umumnya disertai dengan bertambahnya tantangan hidup, demikian pula dengan Jakarta. Bertambahnya usia Jakarta juga diiringi semakin banyak dan semakin kompleksnya permasalahan yang muncul dan harus dihadapi.
Arus urbanisasi pasca libur Hari Raya Idul Fitri seakan sudah menjadi tradisi tahunan. Jakarta adalah satu kota tujuan utama warga daerah untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Daya tarik Ibukota Jakarta masih menjadi primadona bagi pendatang baru yang kerap membuat pekerjaan tambahan bagi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk melakukan pengendalian masalah kependudukan. Untuk mengatasi maraknya pendatang liar ke Jakarta, Pemprov DKI Jakarta berulang kali menggelar Operasi Yustisi Kependudukan (OYK) terutama pasca Hari Raya Idul Fitri. Operasi ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pendatang baru yang tidak memenuhi persyaratan, seperti keterampilan, jaminan tempat tinggal dan pekerjaan, serta tidak memiliki kelengkapan administrasi kependudukan. Dengan berpayungkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, Pemprov DKI Jakarta menggelar razia OYK demi mencegah mengalirnya warga miskin dari desa mencari penghidupan di Jakarta. Fenomena urbanisasi ini sangat dipengaruhi faktor ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah dan kondisi kemiskinan struktural yang telah memaksa rakyat miskin di pedesaan melakukan migrasi ke perkotaan khususnya Jakarta. Tidak meratanya pertumbuhan ekonomi ini secara tidak langsung mendorong penduduk untuk melakukan migrasi ke Jakarta.
Tantangan lain yang sering datang pada saat musim hujan yaitu banjir. Ini adalah masalah yang selalu datang setiap musim penghujan dan juga Pemerintah Provinsi hanya bisa saling menyalahkan dan tidak ada yang mau tanggung jawab mereka semua selalu mengatakan ini adalah fenomena alam / siklus 5 tahun sekali dan belum rampungnya proyek banjir kanal timur. Di hulu, air hujan yang seharusnya terserap ke tanah justru mengalir ke sungai. Tidak ada lagi pepohonan yang menyimpan air di dalam tanah. Tidak ada lagi tanah yang terbuka untuk menyimpan air. Kawasan yang semula diperuntukkan untuk kawasan hijau telah berganti fungsi karena tuntutan perkembangan ekonomi kota. Fungsi konservasi lingkungan tidak lagi diperhatikan.
Di hilir, daerah aliran sungai yang masuk ke Jakarta pun dipadati oleh rumah-rumah penduduk dan bangunan lainnya. Bahkan, beberapa bagian badan sungai menyempit karena banyaknya rumah yang didirikan di atas sungai.
Masalah yang sangat parah dialami kota Jakarta setiap harinya adalah kemacetan yang dimulai dari pagi hingga malam. Pembahasan tentang kemacetan, selalu melibatkan masalah angkutan umum dimana seharusnya angkutan umum adalah salah satu penyelesaian masalah kemacetan di Jakarta, pemikiran yang logis jika mengingat semakin mahalnya harga BBM, tingkat polusi, dan kapasitas jalan yang terbatas. Kemacetan, pelanggaran lalu-lintas dan kecelakaan adalah masalah yang paling sering tampak dipermukaan sebagai masalah lalu lintas. Sedangkan tata ruang, jaringan jalan, sistem transportasi moda terpadu, rencana dan kebijakan angkutan umum, populasi kendaraan, pengaturan lalu lintas, penegakan hukum, ketersediaan sumber daya dan aturan bisa dikatakan sebagai akar masalah transportasi di Jakarta. Sayangnya angkutan umum malah ditinggalkan oleh sebagian besar warga DKI Jakarta, terbukti dari tahun ke tahun semakin tingginya jumlah kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan angkutan umum yang ada, tentu ini bukan tanpa sebab, selain kondisi angkutan umum kita yang jauh dari nyaman, aman dan tepat waktu, jumlah angkutan umum kita juga masih jauh dari ideal. Kemacetan, yang dinyatakan oleh Meneg Perencanaan Pembangunan mengakibatkan kerugian 7 Triliun rupiah setiap tahunnya, telah semakin memperburuk kondisi angkutan umum kita, kondisi macet telah mengakibatkan life time kendaraan angkutan umum semakin berkurang, apa lagi di jaman yang serba mahal membuat para pengusaha angkutan umum menekan harga perawatan kendaraannya.
Kondisi ini terlihat menjadi seperti benang kusut dan lingkaran tak berkesudahan, macet disebabkan kondisi dan pelayanan angkutan umum kemasyarakat tapi akibat macet juga menurunkan kualitas pelayanan angkutan umum. Tapi mari kita lihat dari satu sisi dulu yaitu buruknya pelayanan angkutan umum terhadap masyarakat dan mencari tahu apa penyebabnya. Sering kita lihat Angkot, Metromini, Kopaja, bahkan bus-bus besar bertindak nekat melawan peraturan lalu lintas, ngetem, stop and go disembarang tempat, saling sodok, pokoknya seringkali jadi penyebab tersendatnya arus lalu lintas, membahayakan penumpangnya dan mencerminkan tidak ada disiplin dalam membawa kendaraan umumnya, tapi kenapa para supir ( Paramudi ) Trans Jakarta, cendrung lebih tertib ? lebih mengikuti aturan ? Dari banyak faktor yang membedakan supir angkutan umum dengan paramudi bus Trans Jakarta, maka faktor sistim penggajian adalah yang paling membedakan. Jadi jelas ada perbedaan orientasi dalam mengemudi, kalo Paramudi bus Trans Jakarta sudah bisa berorientasi kepada pelayanan public ( walau masih banyak cacat disana sini ) berbeda dengan pengemudi angkutan umum lainnya yang cenderung kearah bagaimana mendapat penumpang sebanyak banyaknya, tidak perduli kenyamanan penumpangnya. Seorang awak angkutan umum, dalam suatu debat public tentang transportasi mengatakan bahwa jika para supir angkutan umum bisa mendapat gaji seperti paramudi bus Trans Jakata, dia menjamin pelayanan dari angkutan umum yang lainpun bisa, setidaknya menyamai bus Trans Jakarta.
Orang yang berpakaian lusuh, kotor, dan sering meminta-minta di jalanan. Setiap tahun, hari, bahkan jam mungkin jumlahnya selalu bertambah. Mereka datang dari berbagai daerah, tidak hanya yang sudah ada di Jakarta tapi dari daerah-daerah di luar Jakarta. Mereka mengadu nasib di Jakarta dengan harapan akan mendapatkan hidup yang layak. Mungkin pikiran ini yang ada pada saat mereka mengadu nasib ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta, bukan kehidupan lebih baik yang di dapat tapi modal mereka ke Jakarta habis karena ‘jahat’nya Jakarta sehingga mereka terpaksa jadi pengemis. Atau mungkin mereka memang ke Jakarta untuk jadi pengemis. Karena dalam pikiran mereka Jakarta adalah kota metropolitan, banyak orang-orang kaya yang akan senang hati memberikan sebagian hartanya untuk bersedekah.
Dan akhirnya karena kedua alasan tersebut di setiap sudut Jakarta pasti ditemui pengemis. Entahlah karena peningkatan kemiskinan di negara kita atau alasan lain. Tapi pernah di satu koran Jakarta membahas bahwa Orang Kaya di Indonesia mengalami peningkatan jumlahnya. Jadi apa masalahnya? Sampai pengemis tetap banyak jumlahnya? Dan hal yang paling menyedihkan adalah ternyata sebagian besar dari pengemis adalah pengemis yang terorganisir. Seperti organisasi yang memperkejakan pengemis dan mengambil setoran dari tiap pengemis per hari nya. Begitu complicatednya permasalahan pengemis. Karena sebab ini, akhirnya sebagian besar masyarakat memandang pengemis itu adalah orang yang pembohong dan orang yang tidak mau kerja keras. Dan apa akibatnya dari semua ini. Esensi dari bersedekah akhirnya bergeser. Mereka tidak mau memberikan sebagian uang mereka untuk pengemis yang datang ke mereka untuk meminta sedikit uang. Memandang mereka sebagai orang yang rendah, terkadang mungkin ada perasaan jijik jika ada pengemis yang datang. Tapi sebagai seseorang masyarakat yang peduli dengan kelanjutan kehidupan bangsa ini. Kita juga tidak mau rangking kita sebagai negara miskin selalu yang teratas. Kita juga ga mau jika orang-orang yang menjadi pengemis selalu bertambah. Oleh sebab itu, hal ini memerlukan intregritas kita sebagai seorang masyarakat yang baik.
Masalah pengemis adalah masalah kita semua. Kita sebagai seseorang yang punya kelebihan dibanding mereka harus bisa menularkan kelebihan itu kepada mereka. Perbaikan pendidikan mungkin adalah salah satu cara untuk mengatasi masalah pengemis ini. Perbaikan pendidikan para pengemis adalah salah satu cara untuk merubah pola pikir para pengemis. Supaya mereka tidak berpikiran menjadi pengemis adalah satu-satunya jalan untuk menghidupi hidup. Karena masih banyak jalan yang lebih menantang dan menghasilkan lebih banyak penghasilan ketimbang jika mereka mengemis. Sekolah gratis, Panti Jompo, Panti Asuhan, Panti Rehabilitasi, dan sebagainya. Jika dibangun dan dijalankan dengan integritas adalah salah satu cara untuk menekan angka pertumbuhan pengemis dan orang yang hidup miskin di Indonesia. Ini merupakan sarana untuk memperbaiki pendidikan para pengemis dari pengemis yang masih anak-anak sampai pengemis yang sudah tua. Diharapkan di dalam sarana ini, mereka mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan bisa merubah pola pikir mereka yang didapat saat mereka menjadi pengemis.
Masalah yang lebih parahnya lagi adalah sampah yang selalu menumpuk begitu saja dan tidak banyaknya tempat pembuangan sampah. Bisa dilihat dari tempat unutk pembuangan akhirnya saja Pemprov DKI Jakarta tidak dapat menyediakan lahannya, makanya sampah – sampah penduduk Jakarta ditampung diluar daerah Jakarta yaitu Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang (TPA Bantar Gebang). Ini juga menandakan ketidakberdayaan Pemprov mengatasi masalah menumpuknya sampah di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar